Urusan
bisnis ia berani menghadapi risiko besar. Namun, mengenai investasi
pribadi tunggu dulu. Itulah profil risiko Erick Thohir. Di satu sisi
sebagai pengusaha muda ia cukup berani menggeluti bisnis media dengan
agresif, padahal banyak
perusahaan media lain yang gulung tikar. Di lain pihak, ia sangat
konservatif dalam membiakkan investasi personalnya.
Sekalipun
konservatif dalam mengelola investasi pribadinya, Erick cukup kreatif
dengan menyebar ke beberapa ladang investasi yang dianggapnya aman.
Setidak-tidaknya ia telah menjalankan resep pengembangan kolom aset dari
Robert T. Kiyosaki. Bunyinya,
?Sekali uang masuk ke dalam kolom aset Anda, maka uang itu akan menjadi
pekerja yang bekerja untuk Anda. Uang itu akan bekerja 24 jam sehari
dari generasi ke generasi. Kerjakan tugas atau profesi Anda dengan baik,
tapi jangan lupa kembangkan terus kolom aset Anda.?
Bagaimana peta kolom aset pribadi Erick? Dari
tahun ke tahun CEO Grup Abdi Bangsa itu terus mengembangkannya.
Mula-mula lelaki kelahiran Jakarta, 30 Mei 1970 itu hanya mengenal
simpanan di bank. Namun, setelah menempuh pendidikan master di
Universitas National, Kalifornia,
ia mulai coba-coba instrumen yang agak riskan, yakni saham dan reksa
dana. Berikutnya, menjajaki investasi lukisan dan sektor riil, terutama
bisnis restoran.
Lebih
ringkasnya, Erick merangkum portofolio individunya dalam empat
kategori. Pertama, 40% di sektor riil. Kedua, 25% di reksa dana dan
saham. Ketiga, lukisan dengan porsi 25%. Keempat, 10% ditempatkan di
bank dalam bentuk tabungan atau deposito.
Bukan
secara kebetulan bila Erick memilih usaha restoran sebagai wahana
pengembangan investasi sektor riil. Baginya, bisnis resto banyak
tantangannya, baik manajemen maupun inovasi produk. Pertimbangannya,
karena dalam kondisi apa pun orang butuh makan, termasuk pada saat
krismon. ?Apalagi di sektor riil ini kami juga menyerap banyak tenaga
kerja,? ungkap bos dari 1.325 karyawan itu.
Tidak
sembarang jenis resto dimasuki Erick. Ia memilih mengembangkan resto
dengan konsep restoran keluarga, menu yang disajikan unik dan membidik
segmen pasar kelas B (menengah).
Sampai saat ini, ada tiga resto yang masuk genggamannya. Diawali tahun
1987 dengan melanjutkan pengelolaan resto Hanamasa milik keluarganya.
Waktu itu Hanamasa hanya memiliki tiga gerai, tapi di tangan Erick mampu
berbiak menjadi 18 gerai tersebar di Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan dan Bogor.
Setelah masakan Jepang, Erick merambah resto
Italia lewat Pronto Restaurant. Lantaran masih anyar, resto dengan
konsep makan sepuasnya ini baru ada satu gerai di Pondok Indah. Tidak
puas hanya dua resto, selanjutnya ia mengembangkan kafe khusus teh
dengan nama Taste Tea di Kelapa Gading.
Sektor
keuangan juga dilirik Erick sebagai sarana menggelembungkan
pundi-pundinya. Di sini ia menaruh 25% duitnya dalam bentuk saham dan
reksa dana. Ia sengaja menggabungkan alokasi saham dan reksa dana,
karena ada persamaan sejarah saat mengawali investasi di instrumen ini.
Ia bercerita, tiga tahun lalu ditawari produk investasi oleh temannya
yang bekerja di Merrill Lynch, Amerika Serikat. Jenis instrumennya reksa
dana dalam konversi beberapa valuta asing dan saham yang listed di New York Stock Exchange.Waktu itu kebanyakan valas yang dipilih Erick adalah euro karena mengikuti tren. Namun, untuk investasi di reksa dana kini ia sudah melakukan perubahan dengan membeli beberapa produk dari fund manager lokal dan asing yang ada di Indonesia.
Rupanya
tidak hanya reksa dana lokal yang dipilih Erick. Saham yang
ditransaksikan di Bursa Efek Jakarta pun tak dia lewatkan. Strateginya
bermain saham: melihat fundamental emiten, visi perusahaan dan
konsistensi dari corporate action. Dikatakan Erick, dari
penilaian itu akan kelihatan kinerja perusahaan dan pada gilirannya
harga saham akan bagus. Tentu saja saham-saham blue chips yang memenuhi kriteria itu.
Hobi
menikmati lukisan juga ia manfaatkan sebagai investasi. Selain
mengoleksi sejumlah lukisan yang ia sukai, sebagian lukisan miliknya
yang lain dijual untuk mendapatkan keuntungan. Ia mengaku jatuh hati
pada lukisan sejak tujuh tahun lalu. Erick cuma beli lukisan karya
pelukis yang sudah punya nama agar aman. Ia tidak ingin ikut-ikutan
membeli lukisan dari pelukis muda yang terus dibina untuk mendapatkan
keuntungan tinggi. Adapun karya lukis yang dibeli umumnya dari hasil
goresan Basuki Abdullah, Affandi, Dullah, Li Mang Fung, Sri Hadi dan
Trubus. ?Memang untuk pelukis terkenal harga lonjakannya tidak sebesar
pelukis muda, tapi aman. Sebaliknya, karya pelukis muda cukup spekulatif
untuk dijadikan ajang investasi,? papar suami Elizabeth T. ini.
Berapa
lama lukisan ditahan? ?Tergantung,? katanya. Kalau sekarang ada 40
lukisan yang disimpan, boleh dikata yang benar-benar digandrungi 25%.
Ini yang tidak dijual kembali. Sementara itu, sisanya yang 75% akan
dilepas lagi dalam tempo 1-2 tahun ke depan. Untuk menjual kembali tidak
sukar, lantaran telah terbentuk komunitasnya. ?Dibanding hobi lain,
seperti jam tangan mewah, perhiasan atau mobil, lukisan lebih oke,? kata
ayah empat anak ini.
Berdasarkan pengalaman Erick investasi lukisan membukukan return menarik.
Ia mencontohkan lukisan Affandi dibeli pada 1999 seharga Rp 135 juta,
di tahun 2004 sudah ditawar Rp 500 juta. Mengapa mahal? ?Ini ditentukan
oleh komunitas lukisan sendiri,? ujarnya sembari membandingkan karya
Basuki Abdullah saat ini masih stagnan. Ada pula lukisan yang dulu
dibeli seharga Rp 25 juta, sekarang menjadi Rp 40 juta. ?Selama
ini kalau ingin cepat jual kembali lukisan untungnya Rp 20-30 juta
dalam tempo setahun, sedangkan harga belinya Rp 80?200 juta,? ia
menjelaskan. Di atas harga Rp 200 juta, potensi keuntungan lebih besar,
tapi peluangnya jarang terjadi. Kalau dihitung frekuensi jual-beli
lukisan Erick tidak banyak, tidak lebih dari dua kali dalam setahun.
Di balik gambaran return gede
dari investasi lukisan, tentu ada dukanya, meski Erick tak menyebut itu
sebagai kerugian. Lukisan karya Trubus umpamanya. Kala itu ia membeli
agak kemahalan dan ada goresan di bagian tangan ? dianggap kurator
tidak perfeksionis. Jadi, harganya saat itu idealnya Rp 140 juta, tapi
ia membeli di harga Rp 185 juta. Dan saat ini harga pasarannya ditaksir
Rp 250 juta. ?Tapi, karena sudah dipegang lebih dari 6 tahun, jadi return-nya tidak tinggi lagi,? ungkapnya.
Erick
sungguh beruntung. Tidak hanya lukisan yang menjanjikan keuntungan
besar. Investasi di Hanamasa dan Proton pun telah mencetak laba.
Sementara itu, Taste Tea belum mencapai titik impas. Menurutnya, perlu
waktu edukasi ke masyarakat sekitar tiga tahun agar aware terhadap resto jenis ini.
Demikian halnya investasi di saham dan reksa dana, telah dipetik return-nya. Walaupun capital gains tidak signifikan, Erick merasa puas. Misalnya beli saham BRI saat IPO Rp 875 dan dijual lagi pada Rp 1.000. ?Kiat saya menekan loss
adalah tidak serakah. Harga saham naik Rp 50 pun cukup daripada
menunggu Rp 200 tapi lama, bahkan bisa turun harganya,? Erick
menguraikan. Sementara itu, yield reksa dana yang dibelinya rata-rata di atas bunga deposito.
Dengan sikapnya yang prudent
dan jenis investasi cenderung konvensional, Erick tak banyak menghadapi
risiko besar. ?Rugi besar itu paling-paling pas beli saham di AS karena
harganya jatuh hingga 40%,? ia mengenang. Dari situ ia menarik
pelajaran berharga: harus mampu mengukur diri dan mengikuti perkembangan
instrumen investasi itu sendiri.
Sumber : swa.co.id
Semoga Allah senantiasa memberikan keamanan, keselamatan, kelancaran dan kebarokahan..aamiin.
Sumber : swa.co.id
Semoga Allah senantiasa memberikan keamanan, keselamatan, kelancaran dan kebarokahan..aamiin.
No comments:
Post a Comment