Doa yang paling sering saya panjatkan adalah agar Tuhan
tidak mencabut kegembiraan dalam hati saya. Karena betapa mudah saya untuk
sedih, mengomel, dan uring-uringan terhadap keadaan. Keadaan itu bisa bernama
apa saja, baik dalam kondisi nyaman apalgi dalam zona sudah. Apakah zona susah
itu? Ini juga pertanyaan jebakan, apalagi jika susah hanya disempitkan sebagai
kemiskinan dan kebendaan.
Di masa kecil, ketika miskin benda itu benar-benar mencekik
leher kami dan tetangga, mudah bagi kami untuk gembira bersama. Cukup dengan
bulan purnama, kami langsung berkumpul, bernyanyi dan menari di tanah lapang.
Malam boleh gelap, tapi dengan bulan, malam jadi sangat berarti.
Kota kami kini terlalu terang. Kedatangan bulan sering jadi
tidak penting lagi. Terang benderang setiap kali, kita malah marah ketika
listrik cuma sebentar saja mati. Jelas kegembiraan itu tetap ditempatnya, walau
hidup kita berubah.
Apapun perubahan yang terjadi jika tidak mengajak
kegembiraan turut serta adalah soal yang tidak saya ingini. Saya tidak ingin
menjadi pribadi yang uring justru ketika diberi kemudahan membeli rumah atau mobil misalnya. Karena
mobil itu bisa menjadi biang waswas tanpa henti. Tergores sekuku saja akan
menancap dalam hati. Begitu juga dengan semua jenis pertumbuhan yang melupakan
kegembiraan, akan terus saya wapadai.
Pertama kali kami merenovasi rumah, yang berlangsung tidak
cuma gairah merenovasi, tapi juga pertengkaran dengan istri, omelan kepada
tukang, dan curiga kesana kemari. Saya kaget sendiri pada ironi itu. Rumah ini
mestinya membuat gembira, tapi malah menimbulkan kekacuan. Sumber kekacuan
segera saya telusuri. Ternyata sumbernya adalah karena sumber-sumber
kegembiraan habis saya korupsi. Saya ingin sumber seluruh kegembiraan tertuju
pada saya. Sementara kebahagiaan istri dan
tukang saya tidak peduli. Istri saya lelah menyiapkan ini itu. Tapi
karena konsentrasi saya hanya ke arah saya sendiri, saya jadi tidak peduli.
Begitu juga ketika sedikit saja tukang terlambat saya mengomel. Saya lupa
memberi ruang kepada tukang untuk gembira dengan pekerjaannya. Padahal sedikit
malas apalah salahnya, sedikit keliru apalah bahayanya. Toh dalam kerja saya juga
suka mencuri-curi kemalasan secukupnya.
Rumah itu benar-benar akan menggembirakan saya ketika saya
menjadikannya pusat kegembiraan bersama. Istri boleh beri masukan, agar ia
merasa ada didalamnya. Begitu juga dengan anak-anak dan tukang. Saya harus memberi
rung bahkan untuk keliru sekalipun agar jiwa mereka merdeka.
Azas gembira itu bukan salah atau benar, melainkan apakah
rumah itu telah menjadi ajang memberi manfaat bersama. Jadi dalam penyebab
gembira itu terjadi kegembiraan yang sesunguhnya. Jadi jelas tidak perlu
menunggu lama untuk gembira, karena sumbernya bukan pada keadaan tapi kemauan.
Ini berlaku juga bagi yang sedang berpengharapan. Memang disebut harapan karena
belum jadi kenyataan, tapi dalam harapan kita sudah diizinkan untuk gembira. Buktinya
begitu banyak orang lupa gembira ketika harapannya jadi kenyataan. Karenanya
gembira itu bukan soal kapan, tapi soal apakah kita akan membuat keputusan.
Terima kasih telah mampir dan semoga bermanfaat. Semoga
Allah senantiasa memberikan keamanan, keselamatan, kelancaran dan
kebarokahan..aamiin.
Sumber : Prie GS smartfm
tersenyumlah....
ReplyDelete